Pakaian, secara umum dipahami sebagai “alat” untuk melindungi tubuh atau sebagai “alat” untuk memperindah penampilan. Tetapi selain untuk memenuhi kedua fungsi tersebut, pakaian pun dapat berfungsi sebagai “alat” komunikasi yang bersifat non-verbal, karena pakaian ternyata mengandung simbol-simbol yang memiliki beragam makna.
Menurut Morris, pakaian yang dikenakan oleh manusia memiliki tiga fungsi mendasar, yaitu memberikan kenyamanan, sopan-santun, dan pamer (display). Seperti diungkapkan oleh Broby-Johansen (1968:5): “It seeks not to pretend, but rather to display.” Hal tersebut sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Horn dan Gurel yang mengemukakan empat teori tentang fungsi pakaian bagi manusia (1981: 19-34). Secara umum orang meyakini bahwa sopan-santun merupakan alasan mendasar bagi manusia dalam berpakaian, tetapi beberapa ahli menyatakan bahwa sopan-santun merupakan hasil atau akibat dari pakaiannya. Sopan-santun bukanlah yang mendorong seseorang untuk berpakaian. Teori lainnya menyatakan bahwa dengan menutupi tubuh dengan pakaian justru menarik perhatian orang lain terhadap tubuh yang ditutupi tersebut, sehingga dengan demikian akan meningkatkan daya tarik seksual. Teori ketiga yang dikemukakan oleh Horn dan Gurel tersebut menyatakan bahwa pakaian yang dikenakan oleh manusia memiliki fungsi sebagai pelindung. Menurut teori ini pakaian dipandang sebagai benteng antara manusia dan lingkungannya yang melindungi mereka dari unsur-unsur berbahaya baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Teori terakhir berkaitan dengan nilai ornamental (ornamental values) dari pakaian yang mampu memberikan pengalaman estetik dan memenuhi kepuasan atau kenikmatan inderawi bagi seseorang yang menginginkan keindahan.
Gaya berbusana masyarakat saat ini cenderung memperlihatkan suatu pemilihan desain busana yang berkiblat ke dunia mode barat. Terlebih para remaja di kota bahkan sekarang sudah mulai pula merambah sampai di desa-desa dan kampung. Karena Informasi mengenai trend mode yang sedang ‘in’ di belahan dunia barat sana, sudah bisa diterima di sini pada saat yang hampir bersamaan dengan dikeluarkannya prediksi tersebut oleh para perancang busana dunia (terutama barat), melalui satelit sebagai alat komunikasi. Sudah barang tentu pula model busana yang ditawarkan oleh mereka adalah model dan gaya yang khas barat dan sesuai dengan budayanya. Informasi ini sudah bisa didapat melalui media-media elektronik dan media masa yang dengan mudah dapat di akses oleh setiap orang. Begitu gencarnya informasi akibat dari arus globalisasi ini, sehingga mempengaruhi gaya hidup dan gaya berbusana masyarakat kita yang merupakan objek yang cukup lain tertuju pada pakaiannya, sekalipun tanpa mereka sadari telah menunjukkan peran sosial dan kode-kode sosial yang dianutnya terhadap budaya dimana mereka berada. (Morris, 1977 ).
Islam sendiri memberikan batas-batas tentang berpakaian atau menutup aurat yang kita kenal dengan ayat jilbab. Kewajiban berjilbab dalam Islam muncul ketika turun QS. An-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59). Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai jilbab di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir setelah turun ayat QS. An-Nur: 31, sebagai dasar untuk membersihkan nama Aisyah waktu itu. Sejak peristiwa itu, turunlah ayat yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam QS. An-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.
Dalam konteks kekinian, jilbab telah menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Disamping itu jilbab juga dijadikan sebagai mode dari berbagai kalangan yang dimulai dari para artis yang berusaha tampil untuk menyesuaikan dengan konteks lakonnya walaupun sesungguhnya jilbab tidak pernah digunakan pada situasi di luar konteks lakonan tersebut.
Memang beragam atribut yang sering diidentikkan dengan Islam seperti jilbab, sorban, jenggot dan jubah, padahal itu adalah merupakan style dari suatu tradisi masyarakat tertentu yang sebenarnya lebih merupakan bahasa yang menunjukkan bahwa seseorang berasal dari kalangan tertentu.
Masyarakat di sebagian benua Afrika terutama Sudan dan sekelilingnya, terbiasa menggunakan sorban yang dilipat melingkar di atas kepala dan mamakai gamis (kemeja) panjang. Inilah ciri khas masyarakat di negeri itu. Di Jazirah Arabia, sorban tidak dililitkan di seputar kepala tetapi dikenakan seperti wanita memakai kerudung. Di sekitar Pakistan dan India, dikenal dengan pakaian gamis (kemeja) sampai lutut. Sedangkan di wilayah kita, pakaian khasnya adalah peci, baju koko dan sarung yang dikenakan.
Agak sedikit berbeda dengan orang Melayu seperti Malaysia, Brunei tetangga kita dan sebagian masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. Budaya asli melayu yang biasa berbaju kurung, kebaya yang dapat dikategorikan sebagai busana berciri Islam namun sudah mulai pula mau ditinggalkan. Busana adat melayu bagi laki-laki tidak menggunakan sarung sebagai penutup aurat, tetapi dilipat melingkar sekitar pinggang hingga di atas lulut. Mereka mengenakan celana panjang sebagai busana bagian bawah. Semua adalah uniform yang menunjukkan mode pakaian berbagai bangsa muslim di setiap belahan bumi yang bundar ini. Intinya adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menyerupakan pakaian khas agama lain, tidak menyerupai pakaian lawan jenis dan tidak untuk kesombongan.
Seringkali kita mendengar tentang nada-nada sumbang yang berkesan mengatakan bahwa jilbab itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang serba modern dan canggih ini. Dimana kita hidup diabad 21 yang penuh dengan teknologi modern dan serba bebas, sehingga apabila kita mengenakan busana islami/jilbab/kerudung (melayu) maka kita akan ketinggalan zaman dan kuno (kolot). Patut ditanyakan kembali kepada mereka apabila jilbab, baju kurung yang bisa dikategorikan islami itu tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman saat ini secara tidak langsung dia telah menyatakan bahwa Allah itu tidak relevan lagi menjadi Rabbnya karena yang menurunkan perintah jilbab itu adalah Allah Rabbnya. Mengingkari hakekat perintah jilbab tersebut berarti dia mengingkari Al-Qur'an dan dengan dia mengingkari al-Qur'an berarti dia telah mengingkari yang membuat hak ciptanya yaitu Allah SWT. Karena itu patut dicamkan dan direnungkan dengan hati-hati sebelum kita mengeluarkan nada-nada sumbang yang aneh dengan alasan perkembangan zaman.
Busana muslimah itu tidak cukup hanya difahami sekedar menutup aurat, lalu menganggap, model potongan dan berbagai belah yang memberi kesempatan mata mengintip atau bercelana panjang jeans ketat oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana secara sempurna, yang aneh lagi kadang kepala ditutup dengan kain tapi pusar dan paha tetap dipamer, atau berjilbab (istilah umum) tapi baju tipis ketat sehingga semua mata tetap segar melihat lekuk-lekuk tubuh, bahkan (narkoba) nampak kolor belakang.
Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat–atau menggunakan bahan tekstil yang transparan--tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat yang sudah rusak ditengah masyarakat sekuler sekarang. Karena busana menunjukkan tipe jati diri siapa kita sesungguhnya. Jilbab secara kontras memang kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah (baca: seorang yang mengaku perempuan dan beragama Islam). Yang tidak menimbulkan maksiat bagi pemakai maupun bagi mereka yang melihat si pemakai busana. Sabda Nabi: "Pada akhir ummatku nanti akan muncul kaum laki-laki yang menaiki pelana seperti layaknya kaum laki-laki, mereka turun ke masjid-masjid, wanita-wanita mereka berpakaian tetapi laksana telanjang, di atas kepala mereka (ada sesuatu) seperti punuk unta yang lemah gemulai. Laknatlah mereka, karena sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita yang terlaknat" (HR. Imam Ahmad). Wallahu’alam.
Comments :
0 komentar to “Memaknai Arti Berpakaian Menurut Islam Oleh: J.H. Fido Firdaus”
Posting Komentar